Oleh: Muhammad Idris
Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI dan Pegiat Literasi Digital
Pernah suatu waktu, Saya mengamati sekelompok mahasiswa di sudut kampus. Sebagian memainkan ponsel, sebagian lagi asyikdengan laptopnya. Tidak Nampak ada buku fisik di tanganmereka. Seorang rekan dosen berbisik, “Lihat, Gen Z sudahtidak suka membaca. Mereka hanya sibuk dengan gadget.”
Pernyataan itu menggelitik dipikiran Saya. Beberapa harikemudian Saya mencoba berkunjung ke perpustakaan kampus. Memang tidak banyak mahasiswa yang tampak. Rak-rak bukujuga masih terlihat tertata rapi. Sementara di luar, beberapamahasiswa duduk melingkar.
Mereka tampak sibuk menatap layar gawai menikmati sosialmedia. Ada juga yang sibuk surving jagad maya mengerjakantugas kelompok. Sekali lagi tidak satupun terlihat membawabuku fisik.
Pemandangan ini memang kerap terlihat, seolah membenarkanyang terjadi, bahwa anak muda zaman sekarang memang malas membaca. Benarkah Gen Z (generasi yang lahir antara 1997 sampai 2012), telah kehilangan minat baca? Atau justru carapandang kita mendefinisikan “membaca” yang perlu diperbarui?
Membaca tidak harus berbasis kertas
International Literacy Association (ILA) memberi kabar baik, bahwa apa yang saat ini terjadi tidak sepenuhnya benar. Dari perpekstif yang berbeda, Gen Z sebenarnya sangat literat. Caranya saja yang berbeda.
Mereka mahir mencari informasi online, mengevaluasikredibilitas sumber, dan berkolaborasi lewat teknologi. Ini merupakan bentuk literasi baru. Saat mengerjakan tugas, merekatidak hanya mengandalkan buku teks, tetapi juga jurnal online, video edukasi bahkan forum diskusi.
Mereka membaca dan menganalisis dalam arti memprosesinformasi secara cepat dan multitasking. Apakah ini pertandaburuk? Jawabnya tidak selalu. Dunia kini bergerak dengan ritmedigital. Kemampuan membaca cepat dan menyaring data justrujadi keunggulan.
Gen Z mungkin tidak lagi membaca koran atau menontoninformasi di layar tv. Namun tanpa kita ketahui, mereka saat inisedang mengikuti thread tentang diskusi filsafat, atau bisa jadisedang belajar coding lewat artikel online.
Mungkin juga mereka sedang belajar membuat naskah dan proses editing film animasi lewat aplikasi k-ling, filmora, runway atau magiclight. Mengikuti diskusi buku lewat podcast. Bahkan sedang menonton video analisis buku di kanal YouTube.
Semua itu mungkin bukanlah kebiasaan generasi sebelumnya. Gen Z hanya membaca dengan caranya sendiri. Masalahnyabukan pada minat, tetapi pada bagaimana kita sebagai pendidik, orang tua dan pegiat literasi untuk beradaptasi dengan caramereka.
Kita masih terjebak pada standar lama tentang membaca. Harus lewat buku fisik, harus menyeluruh dan harus dalam diam. Ketika anak muda membaca dengan cara berbeda, mereka justrudianggap menyimpang dari norma. Menyalahkan Gen Z atasrendahnya minat baca tanpa memperbaiki ekosistem literasibukanlah hal yang bijaksana. .
Mengubah cara mengenalkan buku
Daripada terus menyalahkan Gen Z, mending memikirkanlangkah apa yang harus dilakukan agar buku menjadi relevankembali bagi mereka? Pertama, hadirkan bacaan yang kontekstual, dekat dengan realitas mereka dan tidak terkesanmenggurui. Buku harus hadir dalam berbagai bentuk: cetak, digital, audio bahkan video.
Kedua, mengenalkan budaya literasi melalui medium yang mereka kuasai. Misalnya mengajak membuat konten di TikTok ataupun platform media sosial lainnya tentang ajakanmerekomendasikan judul buku yang pantas dibaca generasi ini.
Ketiga, penulis, penerbit dan pegiat literasi perlu aktif juga dikanal digital. Berkolaborasi dengan konten kreator, membentuk komunitas cinta buku atau membuat kampanyeliterasi berbasis tren digital.
Hari Buku Nasional harus jadi momentum menyusun ulangstrategi masa depan literasi, bukan sekedar nostalgia tentangmasa lalu. Buku bukan hanya benda yang dibaca, tetapipengalaman yang dibangun dan pengalaman itu kini hadir lewatberagam platform media.
Buku akan tetap relevan, asal kita kreatif menyajikannya. Merayakan Hari Buku Nasional tahun ini, marilah kita tidak lagiberdebat soal dikotomi “buku vs. gadget”.
Fokus utamanya adalah bagaimana membuat Gen Z kembalijatuh cinta pada ide, cerita dan pengetahuan dalam beragamformat. Dengan begitu, maka membaca akan tetap menjadijendela dunia. Bedanya, Gen Z mempunyai lebih banyak jendeladibanding zaman kita dulu (*/).