Oleh: Prof. Dr. Andi Sukri Syamsuri, S. Pd., M. Hum.
Guru Besar Ilmu Linguistik, Wakil Rektor I Unismuh Makassar
Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum kolektif untuk merefleksikan kembali jati diri dan arah pembangunan nasional.
Di tengah era digital yang bergerak begitu cepat, refleksi terhadap masa lalu menjadi penting agar langkah ke depan tetap berpijak pada fondasi yang kokoh.
Kebangkitan sejati bukan hanya kebangkitan fisik atau ekonomi, melainkan kebangkitan dari akar budaya dari nilai-nilai lokal yang membentuk watak, karakter, dan identitas bangsa.
Dalam konteks inilah, kearifan lokal dan teknologi digital bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua tiang penyangga yang saling memperkuat, menopang bangunan bangsa menuju masa depan.
Fondasi Kearifan Lokal
Di tengah arus globalisasi yang menggerus batas-batas kultural, kearifan lokal hadir sebagai jangkar identitas dan moral.
Kearifan lokal bukan sekadar warisan nenek moyang, melainkan nilai-nilai hidup yang terbukti mengikat komunitas dalam etika sosial dan spiritual.
Dalam budaya Bugis Makassar, misalnya, nilai siri’ na pacce telah lama menjadi fondasi penghormatan terhadap harga diri dan solidaritas sosial.
Nilai ini tidak lekang oleh waktu, dan justru relevan untuk membentuk karakter generasi muda yang kuat dan berintegritas di tengah dunia digital yang cenderung instan dan permisif.
Falsafah Bugis “Ada Na Gau’na, Gau’na Na Adanna” mengajarkan bahwa setiap perkataan harus sejalan dengan tindakan, dan tindakan mencerminkan harkat seseorang.
Falsafah ini sangat relevan dalam dunia digital yang kerap penuh kepalsuan dan pencitraan.
Generasi muda perlu dibekali kesadaran bahwa integritas digital bukan sekadar tampilan, melainkan komitmen antara kata dan perbuatan yang menyatu dalam etika.
Kearifan lokal menyediakan perangkat moral yang dapat membingkai perilaku generasi muda.
Di saat media sosial dan arus informasi yang tanpa saringan membentuk realitas, nilai-nilai lokal berperan sebagai filter etis yang menahan laju dekadensi budaya.
Maka, membumikan kembali kearifan lokal dalam ruang-ruang pendidikan dan keseharian bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendesak dalam pembentukan karakter bangsa yang beradab dan berdaya saing.
Teknologi Digital dan Budaya Lokal
Transformasi digital seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman terhadap budaya lokal, tetapi sebagai peluang untuk memperluas daya jangkau pelestarian budaya.
Teknologi membuka ruang baru bagi budaya untuk direkam, didokumentasikan, dan disebarluaskan lintas generasi dan geografi.
Salah satu langkah konkret yang kini sedang dikembangkan adalah revitalisasi aksara lontara melalui kecerdasan buatan (AI).
Melalui pemanfaatan AI, aksara Bugis-Makassar yang dahulu hanya terjaga dalam manuskrip kini bisa diolah dalam bentuk digital yang mudah diakses dan dipelajari.
Digitalisasi budaya juga mencakup musik tradisional, tarian, cerita rakyat, dan mitos lokal yang dapat dihadirkan dalam format konten kreatif seperti film pendek, animasi, podcast, atau gim edukatif.
Generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital akan lebih mudah terhubung dengan warisan budayanya jika disajikan dalam medium yang akrab bagi mereka.
Inilah yang menjadikan teknologi sebagai jembatan antar generasi, bukan jurang pemisah.
Untuk menjembatani masa depan dan masa lalu, dunia pendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga berakar budaya.
Pendidikan digital berbasis kearifan lokal menawarkan model pembelajaran yang menjadikan teknologi sebagai alat, bukan tujuan akhir.
Dalam pendekatan ini, siswa tidak hanya diajarkan keterampilan digital, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai lokal sebagai kerangka etis dan identitas budaya
Kurikulum di sekolah dapat dirancang untuk menggabungkan konten lokal dalam proses pembelajaran digital.
Misalnya, siswa dapat membuat aplikasi yang memuat cerita rakyat Bugis Makassar, membuat animasi tentang legenda setempat, atau mendigitalisasi manuskrip lontara.
Proyek-proyek berbasis komunitas seperti ini tidak hanya mengasah keterampilan teknologi, tetapi juga menguatkan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Lebih dari itu, pendekatan ini dapat diperluas ke dalam pembentukan komunitas budaya digital berbasis sekolah dan desa.
Siswa bersama guru dan tokoh adat dapat menjadi agen pelestari yang mengumpulkan data budaya, mendokumentasikan tradisi, dan menyebarkannya ke dunia digital.
Desa-desa dan sekolah menjadi laboratorium budaya yang hidup dan terus berkembang dalam ekosistem digital yang sehat.
Kebangkitan nasional yang kita peringati bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi menyiapkan masa depan yang berpijak pada kekuatan budaya sendiri.
Bangsa yang mampu mengenali dan menghidupkan kembali budayanya memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap gempuran nilai-nilai asing yang belum tentu selaras.
Inilah makna kebangkitan dari akar budaya sebuah proses sadar untuk menggali, merawat, dan mengembangkan kekayaan lokal dalam rangka membangun peradaban bangsa yang unggul.
Dengan pendekatan ini pula, teknologi tidak hanya hadir sebagai alat bantu, tetapi sebagai instrumen pembentuk karakter, identitas, dan peradaban.
Dalam konteks Bugis Makassar, inisiatif seperti digitalisasi aksara lontara atau pengembangan aplikasi berbasis nilai siri’ na pacce bukan hanya pelestarian budaya, tetapi juga strategi pendidikan karakter yang relevan dengan zaman.
Hal ini sejalan dengan falsafah Bugis “Resopa Temmangingngi, Naletei Pammase Dewata”—bahwa kerja keras dan keteguhan dalam menjaga nilai dan martabat akan membuka jalan pada anugerah dan kemuliaan.