Dengan Sastra, Menenun Perlindungan dan Karakter: Menyambut Hari Anak Nasional 2025

banner 325x300

Oleh : Dr. Sitti Rahmawati, S. S., M. Pd. 
          : Ketu Prodi Sastra Indonesia UMI
          : Ketua APEBSKID Komisariat Sulsel

Di antara gemuruh dunia yang kian kompleks, bisakah sebuah cerita menjadi benteng? Bisakah puisi menjadi pelipur lara sekaligus pematang karakter? Di tengah semangat Hari Anak Nasional (HAN) 2025 bertema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, para pegiat literasi dan psikologi sastra menawarkan jawaban yang menggema: Bisa, dan inilah saatnya.

banner 728x90

Bukan sekadar hiburan pengantar tidur, karya sastra anak—dari dongeng Nusantara yang berbisik kebijaksanaan hingga cerita kontemporer yang menyentuh realita—dipandang sebagai alat terapeutik dan edukatif yang dahsyat. Seperti benang emas dalam tenun kebudayaan, ia menenun nilai-nilai, mengobati luka batin, dan membentuk identitas.

Dr. Sitti Rahmawati, S.S., M.Pd., Ketua Prodi Sastra Indonesia UMI Makassar sekaligus Ketua APEBSKID Komisariat Sulawesi Selatan, menyuarakan keyakinan ini dengan nada yang dalam. “Sastra anak,” ujarnya, suara lirih namun penuh keyakinan, “adalah jembatan penghubung ke dunia batin yang paling sunyi dalam diri setiap anak.” Ia bukan hanya menghibur, melainkan menyelami, memahami gejolak emosi, kegelisahan tersembunyi, dan kerinduan terdalam yang seringkali tak terucap. Di sinilah psikologi sastra hadir sebagai mercusuar.”

Psikologi Sastra: Membaca yang Tak Tertera

Pendekatan lintas disiplin ini, tegas Dr. Rahma—sapaan akrabnya—adalah kunci bagi guru, orang tua, dan semua penjaga masa kecil. Ia mengajari kita membaca yang tak tertera: bagaimana sebuah metafora tentang keberanian membentuk keteguhan hati, bagaimana konflik dalam cerita memantik empati, bagaimana tokoh yang bangkit dari kegagalan mengukir resiliensi. Setiap halaman yang dibalik, setiap bait yang dibacakan, adalah benih yang ditaburkan di tanah jiwa yang subur.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan sastra yang hidup, kaya dengan bacaan positif, imajinatif, dan reflektif, kata Dr. Rahma, akan memanen buahnya. Mereka bukan hanya cerdas secara kognitif. Mereka adalah pribadi dengan kecerdasan emosional yang lebih stabil, daya lenting menghadapi badai, dan kepedulian yang berakar dalam. Mereka belajar bahwa hidup adalah narasi yang bisa dimaknai, bahkan dalam episode yang gelap.

Sastra sebagai Tameng dan Penyembuh

Perlindungan anak, dalam pandangan Dr. Rahma, juga menemukan bentuknya dalam kekuatan narasi. Sastra yang berani menyentuh ketidakadilan, mengisahkan keberanian kecil, atau merayakan nilai kemanusiaan universal, berfungsi sebagai tameng. Ia mengajari anak mengenali haknya, memahami batasan, dan menemukan suaranya. Lebih jauh, dalam ranah sastra kedokteran yang juga digelutinya, kata-kata menjadi jembatan ajaib. “Narasi menjadi alat komunikasi yang lembut namun kuat antara dunia klinis yang dingin dan dunia batin pasien kecil yang mungkin ketakutan, kesakitan, atau trauma,” paparnya. Cerita menjadi tempat mereka merasa dimengerti, bukan sekadar diobati.

Seruan untuk Bertindak: Menciptakan Ruang yang Bernapas Sastra

Sebagai Ketua APEBSKID Sulsel, Dr. Rahma tak hanya berteori. Ia mendorong langkah konkret: Integrasi literasi sastra yang lebih dalam dan bermakna ke dalam kurikulum, mulai dari PAUD hingga Sekolah Dasar. Ia menyerukan pada komunitas literasi, institusi pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat: “Bentangkan ruang-ruang dialog sastra!” Ruang di mana dongeng bukan sekadar dibacakan, tapi dihayati; di mana menulis cerita menjadi katarsis; di mana pembacaan puisi anak adalah pesta bahasa dan perasaan yang melibatkan jiwa, didampingi pendekatan psikologis dan peka budaya.

“Anak yang terlindungi,” tegas Dr. Rahma, matanya berbinar menekankan setiap kata, “bukan hanya yang fisiknya aman. Ia adalah anak yang suaranya didengar gemanya, perasaannya dipahami sedalamnya, dan karakternya dibentuk sejak dini dengan kelembutan dan kesadaran. Sastra, dengan pendampingan psikologi sastra, adalah alat pengukir jiwa yang paling halus sekaligus paling ampuh.”

Menuju Indonesia Maju, Dimulai dari Sebuah Cerita

Momen Hari Anak Nasional 2025 ini adalah gema yang harus ditangkap. Literasi sastra bukan lagi pelengkap; ia adalah pilar perlindungan anak yang utuh. Dengan membangun ruang aman secara psikologis melalui kekuatan cerita, puisi, dan dialog sastra yang menghidupkan, kita sedang melakukan lebih dari sekadar mendidik. Kita sedang menumbuhkan generasi yang tak hanya cerdas di kepala, tetapi juga berlimpah empati di hati, tangguh dalam jiwa, dan berkarakter kuat dalam tindakan.

Selamat Hari Anak Nasional 2025. Mari jadikan setiap buku yang dibuka, setiap cerita yang dituturkan, sebagai ikrar perlindungan dan langkah nyata menuju Indonesia Maju: Generasi yang terlindungi jiwanya, unggul karakternya, lahir dari rahim sastra yang dipahami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *