Bahasa Ibu, Akar Kesantunan Bangsa

banner 325x300

Bahasa Ibu, Akar Kesantunan Bangsa

Oleh :
Dr. Sitti Rahmawati, S.S., M.Pd.
Ketua Program Studi Sastra Indonesia Universitas Muslim Indonesia (UMI)
Ketua APEBSKID Komisariat Sulawesi Selatan

Setiap tanggal 22 Desember, Hari Ibu diperingati sebagai bentuk penghormatan atas peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Namun, peringatan ini semestinya tidak berhenti pada ungkapan kasih dan simbol seremonial belaka. Ada peran mendasar yang kerap luput dari perbincangan publik, yakni peran ibu sebagai penanam pertama bahasa yang santun dan berkarakter.

Bahasa bukan sekadar alat menyampaikan pesan, melainkan medium pembentuk watak. Dari cara seseorang memilih kata, menyusun kalimat, hingga menata intonasi, tampak nilai-nilai yang hidup dalam dirinya. Kesantunan berbahasa, karena itu, tidak lahir tiba-tiba di ruang publik atau bangku sekolah, melainkan berakar kuat di ruang domestik bernama rumah. Di sanalah ibu hadir sebagai figur sentral yang memperkenalkan bahasa sekaligus etika bertutur.

Sejak seorang anak mulai mengenal dunia melalui bunyi dan kata, ibu menjadi sumber bahasa pertamanya. Tutur ibu baik dalam bentuk nasihat, cerita, teguran, maupun doa secara perlahan membentuk struktur berpikir dan sikap berbahasa anak. Dari ibu, anak belajar kapan harus berbicara lembut, bagaimana menyampaikan keinginan tanpa melukai, serta bagaimana menghormati orang lain melalui bahasa.

Dalam kajian kebahasaan, bahasa pertama atau bahasa ibu memiliki peran penting dalam pembentukan karakter linguistik dan afektif anak. Bahasa yang disampaikan dengan empati, keteladanan, dan konsistensi akan membentuk kesantunan berbahasa yang melekat hingga dewasa. Sebaliknya, bahasa yang keras, kasar, atau merendahkan berpotensi melahirkan pribadi yang abai terhadap etika komunikasi.

Pada saat yang sama, sastra sesungguhnya tumbuh dari pengalaman batin yang paling awal, dan pengalaman itu banyak dibentuk oleh relasi anak dengan ibunya. Cerita pengantar tidur, nyanyian nina bobo, peribahasa, pantun, dan ungkapan-ungkapan sederhana yang dituturkan ibu merupakan bentuk sastra lisan awal yang sarat nilai. Dari sanalah anak belajar bahwa bahasa tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga rasa, empati, dan keindahan.

Di tengah derasnya arus digital dan media sosial, tantangan kesantunan berbahasa semakin kompleks. Anak-anak dengan mudah terpapar ujaran kebencian, bahasa kasar, dan ekspresi verbal yang minim empati. Dalam situasi ini, peran ibu sebagai penyeimbang menjadi semakin krusial. Ibu tidak hanya mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh diucapkan, tetapi juga mencontohkan bagaimana bahasa digunakan untuk merawat relasi dan kemanusiaan.

Menegaskan peran ibu dalam menanamkan bahasa santun bukan berarti mengabaikan peran ayah, sekolah, atau masyarakat. Pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama. Namun, ibu memiliki posisi yang khas karena kedekatan emosional dan intensitas interaksi yang paling awal dan paling lama. Dari tangan dan tutur ibulah nilai-nilai kebahasaan berkarakter itu berakar dan bertumbuh.

Memperingati Hari Ibu sejatinya adalah mengingat kembali peran ibu sebagai penjaga etika berbahasa dan pembentuk karakter melalui kata. Jika hari ini kita merindukan ruang publik yang lebih santun, dialog yang lebih beradab, dan komunikasi yang lebih manusiawi, maka upaya itu harus dimulai dari rumah, dari bahasa ibu.

Selamat Hari Ibu, 22 Desember. Dari bahasa ibu, kesantunan tumbuh; dari kesantunan, karakter bangsa dibentuk.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *