MAKASSAR, NALARMEDIA — Dua Dosen Fakultas Sastra, Ilmu Komunikasi dan Pendidikan (FSIKP) Universitas Muslim Indonesia (UMI) Dr. Sitti Rabiah, M. Hum didapuk narasumber pada diskusi Tudang Sipulung Sastra Ke-II yang diselenggarakan Himpunan Sarjana Kesusatraan (HISKI) Komisariat Sulsel bersama Balai Bahasa Provinsi Sulsel di Aula Balai Bahasa Sulsel 24 April 2025. Kedua dosen tersebut Prof. Dr. H. Kaharuddin, M. Hum, dan Dr. Sitti Rabiah, M. Hum.
Prof. Dr. H. Kaharuddin, M. Hum yang saat ini menjabat Ketua Program Studi Magister Satra Inggris UMI, memaparkan terkait Honorifik, Sastra dan Pemertahanan Kearifan Lokal (Local Wisdom).
“Honorifik: penggunaan kata-kata, frase, atau struktur kalimat yang sengaja digunakan untuk menunjuk posisi relatif antara pembicara, lawan bicara, dan orang atau entitas yang dibicarakan,” ungkap Prof. Kahar sapanya.
Ia menyebutkan Honorifik dapat dimaknai ungkapan penghormatan, bentuk bahasa yang meningkatkan status, penggunaan bahasa yang tepat serta sistem bahasa yang menarik.
“Bahasa tidak langsung yang banyak dijumpai pada ungkapan bahasa lokal (Bahasa Bugis) biasa ditemukan dalam bentuk pantun, misalnya “dekga pasak ri lipukmu, balanca ri kampommu na mulancong mabela?” Dan “Engka pasak ri lipukku, balanca ri kampokku
na iyya usappae ininnawa madecengnge”,” ungkap Prof. Kahar.
Sementara Dr. Sitti Rabiah dalam materinya mengungkapkan Pengaruh Teori Queer, Teori Kritik Feminis dan Postkolonialisme dalam Kearifan Lokal Bugis Makassar.
“Pengaruh Teori Queer, Teori Kritik Feminis, dan Postkolonialisme dapat membantu memahami kearifan lokal Bugis Makassar dari perspektif kontemporer,” ungkapnya.
Lebih lanjut Dosen Prodi Sastra Indonesia UMI tersebut menegaskan Teori Queer dalam konteks Bugis Makassar, teori tersebut dapat membantu memahami bagaimana identitas seksual dan gender digambarkan dalam kearifan lokal, seperti konsep Calalai dan Calabai dalam budaya Bugis.
“Teori Queer dapat membantu memahami bagaimana konsep Calalai dan Calabai dalam budaya Bugis mempertanyakan norma-norma gender yang dominan. Dalam perspektif Queer, Calalai dan Calabai dapat dilihat sebagai contoh bagaimana identitas gender dapat berbeda-beda dan tidak dapat didefinisikan secara tunggal,” tegas Sitti Rabiah.
Ia menyimpulkan kearifan lokal Bugis Makassar memiliki nilai-nilai dan tradisi yang kaya dan beragam
“Teori Queer, Teori Kritik Feminis, dan Postkolonialisme dapat membantu memahami kearifan lokal Bugis Makassar dari perspektif kontemporer. Pengaruh teori-teori tersebut dapat membantu mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal Bugis Makassar dalam konteks modern,” tutupnya. (Rls/red)