MAKASSAR, NALARMEDIA – Senin, 20 Rabi’ul Awwal 1446 H atau bertepatan dengan 23 September 2024, terjadi fenomena astronomi tahunan yang dikenal sebagai Equinox. Fenomena ini terjadi dua kali dalam setahun, ketika matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa Bumi, sehingga panjang siang dan malam di seluruh dunia hampir sama, yakni sekitar 12 jam.
Secara etimologis, kata “Equinox” berasal dari bahasa Latin, yaitu “aequus” yang berarti “sama” dan “nox” yang berarti “malam”. Oleh karena itu, Equinox secara harfiah berarti “malam yang sama panjang.”
Equinox terjadi dua kali dalam setahun, pertama adalah Equinox Vernal pada bulan Maret, yang menandai awal musim semi di belahan bumi utara dan musim gugur di belahan bumi selatan. Kedua adalah Equinox Autumnal yang terjadi pada bulan September, menandai awal musim gugur di belahan bumi utara dan musim semi di belahan bumi selatan.
Dampak dari Equinox bagi Bumi berkaitan dengan durasi siang dan malam. Selain itu, Equinox juga menandai pergantian musim di berbagai belahan dunia, meski pengaruhnya terhadap pola cuaca dan iklim cenderung tidak signifikan.
Belakangan ini, banyak yang mengaitkan fenomena Equinox dengan peningkatan suhu di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di Makassar. Namun, equinox sebenarnya tidak menyebabkan gelombang panas. Penjelasan ini penting karena ada miskonsepsi di masyarakat yang menyatakan bahwa Equinox memicu peningkatan suhu ekstrem. Faktanya, Equinox hanya merupakan momen ketika penyinaran matahari lebih optimal di wilayah tropis, seperti Indonesia, tetapi bukan penyebab langsung dari peningkatan suhu ekstrem. Equinox adalah peristiwa alamiah yang terjadi secara berkala dan tidak berbahaya.
Secara keseluruhan, equinox adalah momen astronomi yang menarik karena menandai keseimbangan antara siang dan malam serta pergantian musim.
Observatorium Unismuh Makassar, sebagai salah satu lembaga observasi astronomi terkemuka di kawasan Sulawesi, rutin melakukan pengamatan terhadap aktivitas matahari dan bulan. Pada pengamatan yang dilakukan pada Senin, 23 September 2024, pukul 09.30, matahari berada pada azimuth 83°17’34.2″ dengan deklinasi -0°12’30.8″. Ini menunjukkan bahwa matahari sudah berada di posisi semu terbit di garis khatulistiwa dengan lintang 0° di permukaan bumi.
Selain itu, observatorium juga mencatat pengamatan terhadap bulan yang masih terlihat di langit Makassar pada ketinggian 7°28’55.3″ dengan iluminasi sekitar 71%, sehingga bulan dapat dilihat secara kasat mata di langit barat kota Makassar.
“Aktivitas observasi ini merupakan bagian dari agenda rutin Observatorium Unismuh Makassar dalam pengembangan dan pengkajian ilmu falak/astronomi di lingkungan kampus. Harapannya, pengamatan ini dapat memberikan edukasi dan manfaat bagi masyarakat umum,” ujar Hisbullah Salam, pengelola Observatorium Unismuh Makassar. (rls/nlr).