JAKARTA, NALARMEDIA — Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menyerukan pesan kepada semua pihak agar menjaga hubungan baik Indonesia – Brasil.
Langkah ini sehubungan dengan insiden kematian Juliana Maris di Gunung Rinjani, NTB, 26 Juni yang lalu.
Apalagi, saat ini Presiden Prabowo Subianto sedang menghadiri pertemuan negara-negara anggota BRICS di Brasil.
“Pemerintah Indonesia sangat concern dan berduka atas kematian warga Brasil, Juliana Maris akibat terjatuh ke dalam jurang sedalam 600 meter di tebing Gunung Rinjani. Pemerintah menganggap insiden tersebut adalah insiden kecelakaan yang dapat terjadi pada setiap pendaki gunung. Apalagi medan Rinjani yang berat dan cuaca ekstrem sedang terjadi saat itu,” kata Menko Yusril dalam keterangan tertulis kepada media di Jakarta, Jumat (4 Juli 2025).
Pemerintah, lanjut Yusril, telah menjelaskan kepada publik insiden tersebut, upaya evakuasi dan otopsi yang dilakukan di sebuah Rumah Sakit di Denpasar.
Upaya evakuasi memang tidak secepat seperti diharapkan. Penggunaan helikopter tidak dapat dilakukan di medan bertebing di tengah cuaca ekstrem, sebagaimana diharapkan oleh keluarga korban.
Tebing-tebing dan hutan tropis di Rinjani berbeda dengan tebing-tebing salju di Himalaya.
Satu-satunya cara adalah evakuasi vertikal secara manual yang dilakukan oleh SAR dan Tim Relawan, sehingga proses evakuasi berjalan tidak secepat yang diharapkan.
Menurut Menko Yusril, hasil otopsi telah dengan jelas menunjukkan bahwa Juliana Marins meninggal antara 15-30 menit setelah badannya terhempas di bebatuan gunung akibat kerusakan organ dan patah tulang yang parah karena terjatuh dari ketinggian 600 meter itu.
“Pihak keluarga memang mempertanyakan jarak waktu antara saat terjatuh dan kematian, karena mereka berpikir ada keterlambatan datangnya pertolongan, sementara korban diduga masih hidup. Secara medis, secepat apapun pertolongan datang, upaya untuk menyelamatkan nyawa korban dalam insiden jatuh dari ketinggian seperti itu sangat kecil kemungkinannya dapat dilakukan,” kata Menko Yusril.
Bahwa kemudian keluarga korban minta dilakukan otopsi ulang di Brasil untuk memastikan waktu kematian, Yusril mengatakan, Pemerintah RI mempersilakan dan menghormati keinginan tersebut.
Secara teoritis, jika metodologi otopsi dilakukan mengikuti standar forensik yang sama, hasilnya tidak akan jauh berbeda, jelas Yusril.
Menko Yusril menegaskan, ia telah berkoordinasi dengan Menko Polkam Budi Gunawan dan Menlu Sugiono dalam menyikapi insiden kematian Juliana Marins ini.
Pemerintah Indonesia memastikan bahwa belum pernah menerima surat atau nota diplomatik apapun dari Pemerintah Brasil yang mempertanyakan insiden kematian Juliana Marins.
“Yang bersuara lantang atas insiden kematian Juliana Marins ini adalah Pembela HAM dari The Federal Public Defender’s Office of Brasil (FPDO), sebuah lembaga independen negara seperti Komnas HAM di sini, yang menangani advokasi atas laporan kasus-kasus pelanggaran HAM di Brasil”, kata Yusril.
Pemerintah RI menyimak dengan seksama berbagai statemen yang dikemukakan lembaga tersebut, termasuk ancaman mereka untuk membawa insiden kematian ini ke ranah hukum internasional. Bahkan disebut-sebut akan menuntut Pemerintah RI ke Inter American Commission on Human Rights.
“Pemerintah RI bukanlah pihak dalam konvensi maupun anggota dari komisi tersebut. Setiap upaya untuk membawa negara kita ke sebuah forum internasional apapun, bahkan termasuk lembaga peradilan seperti International Court of Justice (ICJ) ataupun International Criminal Court (ICC) di Den Haag tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kita menjadi pihak dalam konvensi atau statutanya, dan kita setuju lebih dahulu untuk membawa sebuah kasus ke badan itu. Itu adalah prinsip dalam hukum dan tata krama internasional,” tegas Menko Yusril.
Menko Yusril menambahkan, Pemerintah RI telah dan tetap akan bersikap terbuka untuk mengungkapkan semua fakta sekitar insiden kematian Juliana Marins ini. Aparat penegak hukum juga telah dan sedang melakukan penyelidikan untuk mengungkapkan apakah ada unsur kelalaian dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pendakian gunung di Gunung Rinjani, seperti biro perjalanan, pemandu wisata, otoritas yang mengelola Taman Nasional Rinjani dan petugas Badan SAR sehingga Juliana Marins terjatuh dan meninggal serta upaya pertolongan dan evakuasinya.
Penyelidikan juga dapat menyisir apakah proses percarian, pertolongan dan evakuasi telah dilakukan sesuai protap yang benar di tengah medan yang sulit dan cuaca ekstrem.
“Pemerintah RI terbuka jika sekiranya Pemerintah Brasil ingin melakukan investigasi bersama atau joint investigation atas insiden kematian Juliana Marins ini agar hasilnya dapat diungkapkan secara terbuka baik kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat Brasil,” ujarnya.
Menurut Yusril, pembentukan tim penyelidik bersama ini lebih relevan dilakukan untuk mengungkapkan fakta secara jujur dan adil untuk menentukan langkah hukum selanjutnya, daripada berwacana membawa kasus ini ke forum hukum internasional berdasarkan dugaan-dugaan belaka tanpa dasar penyelidikan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Hubungan baik dan kerjasama bilateral antara Indonesia dan Brasil harus tetap dijaga dan tidak boleh terganggu dengan insiden kematian Juliana Marins ini,” tutup Menko Yusril. (rls/red)