Opini  

Refleksi HUT ke-60: Membaca Bung Dubes Fadjroel Rachman

Foto kebersamaan Andi Zulkarnain dengan Dubes Fadjroel Rachman. (ist)
banner 325x300

HARI ini, Bung Fadjroel Rachman merayakan 60 tahun tahun kehidupan yang diberikan oleh Yang Maha Hidup.

Pada buku kehidupan yang sudah masuk di halaman 60 tersebut, telah diisi dengan banyak cerita suka dan duka.

banner 728x90

Mulai dari kelahiran di Banjar, Kalimantan Selatan, kemudian merantau kuliah di ITB Bandung, selanjutnya dibuang di Nusakambangan, di penjara di Sukamiskin sebagai tahanan politik Orde Baru, sampai kemudian menjadi Komisaris Utama BUMN karya, menjadi Juru Bicara Presiden dan sekarang sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.

Satu benang merah dari proses panjang tersebut adalah watak aktivisme-nya yang tak pernah pudar.

Selama kurang lebih dua puluh tahun berkawan, saya menyaksikan bahwa menyangkut nasib republik, volume kritisisme-nya tidak berubah, baik di luar maupun di dalam kekuasaan.

Beberapa aktivis yang masuk dalam ruang kekuasaan biasanya idealismenya mengalami perubahan seiring oktaf kebisingan kepentingan di dalam lingkaran kekuasaan tersebut.

Bung Fadjroel tetap tegak lurus pada cita-cita besar khas aktivis. Misalnya saat kami bekerja di Juru Bicara Presiden (Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi), di setiap rapat beliau mengingatkan kepada seluruh tim agar bekerja sesuai tupoksi dan jangan menyalahgunakan posisi.

Tentu kami bisa memahami bahwa salah satu tafsir dari arahan bekerja sesuai dengan tupoksi adalah termasuk jangan gunakan ID istana untuk “cawe-cawe” proyek di kementerian dan tempat lainnya.

Salah satu dilema seorang intelektual masuk birokrasi adalah terkait manajemen waktu antara terus menjalankan ritual khas intelektual, seperti menulis dengan mengurus berbagai dokumen dan pekerjaan lain khas birokrat.

Intelektual yang masuk birokrasi biasanya mengalami stagnasi dalam berkarya, namun Bung Fadjroel tetap dalam masa kesuburan melahirkan anak-anak dari rahim intelektualnya. Buktinya, beberapa hari kedepan, Bung Fadjroel akan melaunching dua bukunya yang dicetak oleh penerbit ternama, Gramedia.

Habitus intelektual dan aktivisme juga dibawa dalam bekerja di dunia birokrasi. Misalnya, saat ini di KBRI Astana, semua rapat harus ada notulensi dan kemudian ditandatangani oleh semua peserta rapat.

Sejak awal, sebagai sekretaris, saya diminta untuk merapikan semua proses tersebut.

Akhirnya, secara perlahan, semua tim semakin terbiasa berbicara dengan data dan fakta karena akan ada pertanggungjawaban atas setiap kata yang dilontarkan di forum rapat.

Mungkin, Bung Fadjroel merupakan Dubes yang paling banyak membawa buku ke negara akreditasi.

Dari semua barang bawaan, kardus buku itulah yang paling berat. Sebagai kepala perwakilan (Kepri) tentu kualitas wacana sangat penting dalam menjalankan diplomasi.

Sebab Kepri tidak boleh hanya sekedar membawa senyum di forum-forum internasional. Kepri dituntut menyampaikan visi dan gagasan besar Bangsa Indonesia sebagaimana yang dicontohkan oleh para pendiri negeri.

Selanjutnya, ketegasan yang sama kepada orang di luarnya dan orang di dalam lingkar keluarganya.

Jika kepada pihak lain, beliau tegas bahwa semua harus jujur dan jalankan aturan. Maka, kepada keluarga juga demikian.

Saya beberapa kali menyaksikan langsung beliau mengulangi pesan itu kepada keluarganya. Pada testimoni ulang tahun melalui video dari anak-anak beliau, terlihat bagaimana pesan untuk hidup jujur itu sangat membekas pada mereka.

Parenting republik dan parenting keluarga bisa berjalan bersamaan. Saya mengenal beberapa aktivis yang mengurangi waktunya, bahkan berhenti mengurus agenda republik atau agenda publik karena ingin fokus mengurus keluarga. Atau ada juga aktivis yang sukses mengawal agenda publik, tapi parenting di keluarga terbengkalai.

Bung Fadjroel mampu menjalankan keduanya. Hampir semua isu nasional sejak rezim Suharto sampai saat ini beliau kawal.

Media sosialnya selalu di-tag banyak orang untuk menyampaikan keluh kesah menyangkut kebijakan publik.

Di sisi lain, beliau tetap bisa mengelola agenda keluarga dengan baik. Beberapa bulan lagi anak bungsu beliau akan di sumpah jadi dokter. Dan anak sulungnya tidak lama lagi akan menyelesaikan magister hukum bisnis di salah satu kampus terbaik di Tiongkok.

Saya juga beberapa kali berkomunikasi dengan anak-anak beliau. Semua menjalani hidup dalam payung etik yang tinggi.

Misalnya, mereka berusaha tidak chat orang lain di atas jam 10 malam karena takut mengganggu. Ibu Dubes juga jika mengirim pesan WhatsApp selalu dilengkapi dengan emoji telapak tangan menyatu minimal 2, sehingga kita yang membalas berusaha memberi emoji tangan sebanyak 3.

Kata “mohon maaf” dan “mohon izin” selalu dominan dikeluarkan ketika berkomunikasi dengan istri dan anak-anak beliau. Anak-anaknya juga berusaha tidak menggunakan nama besar ayahnya dalam berbagai urusan.

Tentu semua itu, bukan tiba-tiba, tapi buah dari proses panjang suatu pengasuhan atau pengkaderan keluarga.

Hal lain yang kami pelajari dari beliau adalah kesederhanaan dalam menjalani hidup. Bung Fadjroel, berusaha menjalani hidup berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Beliau pernah menggunakan HP lama yang diikat dengan karet. Karena masih bisa digunakan, beliau masih membawanya.

Di KBRI Astana ada kebiasaan dari seluruh tim untuk mengumpulkan dana seikhlasnya untuk kemudian dibelikan hadiah kepada yang sedang berulang tahun.

Di momen kali ini, tim KBRI Astana memberikan hadiah sepatu dan baju kaos olahraga kepada Bung Dubes. Sebab kedua barang yang sering digunakan tersebut dianggap sudah perlu diistirahatkan.

Sekali lagi, selamat ulang tahun ke-60 Bung Dubes Fadjroel Rachman
Sehat, jaya dan mulia selalu dalam mengawal cita-cita kemerdekaan dan reformasi
Kazakhstan, 17 Januari 2024. (Andi Zulkarnain/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *